Sejak sore hingga malam ini hujan mengguyur belum berhenti. Sempat lebat, namun saat ini rintik-rintik saja. Saya yakin, tidak sedikit dari kita yang mulai bersiap menghadang sang hujan. Suami saya contohnya mulai membeli jas hujan (pengganti yang sudah rusak)tetangga mulai memoleskan "anti bocor" di genting dan dinding rumahnya, dan saya sendiri? mulai rajin kembali minum vitamin penambah daya tahan tubuh yang mudah turun selaras dengan hujan yang turun.
Hujan ini selalu menggiring memori saya pada keadaan sekolah tempat saya mengajar. Beberapa bulan lalu, banjir minimal setinggi mata kaki (banjir atau genangan air?) pasti menyapa sejak saya turun dari angkot sampai halaman sekolah. Itu kalau curah hujannya normal. Kalau sedang kebagian rezeki hujan selebat-lebatnya, bisa dipastikan, air akan naik hingga sedikit di atas lutut.
Sekarang, sedikit berlega hati, hujan masih bersahabat dan jalan di depan sekolah sudah ditinggikan. Tahukan Anda berapa lama saya menunggu jalan itu menjadi seperti saat ini? Sebelas tahun. Sebelas tahun dalam teror musim hujan, sebelas tahun merutuki para pejabat yang "tidak becus" mengurus sepotong jalan sepanjang ratusan meter (sekali lagi: ratusan meter, belum masuk hitungan kilo meter). Sebelas tahun yang membuat banyak sahabat bertanya, "Kok mau sih di tempatkan di situ?"
Hujan esok hari bisa saja melebat kembali, airnya merendam mungkin selutut lagi. Tapi sekarang, saya sudah bisa berdamai dengan itu semua. Mau tahu mengapa? Karena menurut penelitian yang saya baca di koran, beberapa tahun ke depan, tanpa hujan pun Jakarta akan terendam air! Muara Baru contoh paling nyata yang pertama. Kapuk (kecuali "The Haves at Pantai Indah Kapuk)contoh kedua. Anda tahu dimana sekolah saya? Di contoh yang kedua tadi.Jadi, saya sudah "sparring partner" dengan hujan selama sebelas tahun dan banjirnya.Selamat Datang Hujan, semoga turun mu membawa keberkahan bagi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar